Bulan Safar, bulan kedua dalam penanggalan Hijriah, acap kali menyelimuti kalender dengan aura misteri dan bahkan kekhawatiran, terutama dalam wacana tradisional Jawa. Berbeda dengan bulan-bulan lain yang mungkin diasosiasikan dengan perayaan besar atau keberkahan terang, Safar seringkali identik dengan stigma “bulan bala” atau “bulan sial” di sebagian masyarakat, sebuah anggapan yang akar-akarnya menjalar jauh ke dalam kepercayaan pra-Islam namun telah berinteraksi dan beradaptasi dengan ajaran Islam yang masuk ke Nusantara. Persepsi ini bukan sekadar takhayul usang, melainkan sebuah refleksi kompleks dari sejarah panjang akulturasi budaya, spiritualitas, dan agama di Tanah Jawa.
Dahulu bulan ini, kebiasaan masyarakat Arab yang sering mengosongkan rumah mereka untuk pergi berperang atau melakukan perjalanan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir:
صَفَرْ: سُمِيَ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ بُيُوْتِهِمْ مِنْهُمْ، حِيْنَ يَخْرُجُوْنَ لِلْقِتَالِ وَالْأَسْفَارِ
Artinya, “Safar dinamakan dengan nama tersebut, karena sepinya rumah-rumah mereka dari mereka, ketika mereka keluar untuk perang dan bepergian.” (Ibnu Katsir, Tafsîrubnu Katsîr, [Dârut Thayyibah, 1999], juz IV, halaman 146).
Dalam kebiasaan sebagian masyarakat zaman dulu, Safar dimaknai dengan bulan sial atau bulan yang penuh dengan musibah yang akan menimpa kepada siapa saja. Sebagai konsekuensinya, masyarakat tersebut enggan melakukan apa pun.
Dalam hal ini akan menyelami lebih dalam bagaimana bulan Safar dimaknai, dipersepsikan, dan disikapi dalam konteks budaya Jawa. Kita akan menelisik akar-akar historis dan teologis dari pandangan ini, membandingkannya dengan perspektif Islam yang murni, serta mengurai berbagai ritual dan praktik tolak balak yang menjadi respons kolektif masyarakat terhadap anggapan kesialan Safar. Lebih jauh, kita akan mengeksplorasi bagaimana sinkretisme agama dan budaya membentuk identitas unik dalam perayaan Safar di Jawa, serta bagaimana wacana ini beradaptasi dan direinterpretasi di era modern. Dengan memahami kompleksitas ini, kita dapat menghargai kekayaan warisan budaya Jawa yang mampu merangkul beragam keyakinan dalam satu harmoni.
Asal-Usul dan Persepsi Safar: Perspektif Islam vs. Jawa
Untuk memahami wacana Safar di Jawa, penting untuk terlebih dahulu meninjau bagaimana bulan ini dipandang dari dua lensa utama: Islam dan tradisi Jawa. Kedua perspektif ini, meskipun seringkali saling bertumpang tindih dalam praktik, memiliki akar dan dasar yang sangat berbeda dalam memandang hakikat bulan Safar.
Dalam perspektif Islam, bulan Safar sama seperti bulan-bulan lainnya dalam kalender Hijriah. Tidak ada dalil sahih dari Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi Muhammad SAW yang mengindikasikan bahwa Safar adalah bulan yang membawa kesialan atau musibah. Bahkan, Nabi Muhammad SAW secara tegas menolak keyakinan animistik pra-Islam yang mengaitkan kesialan dengan bulan Safar. Beliau bersabda:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ
“Tidak ada ‘adwa (penyakit menular tanpa kehendak Allah), tidak ada thiyarah (kesialan karena hal-hal tertentu), tidak ada hammah (burung hantu pembawa sial), dan tidak ada Safar (bulan yang membawa sial).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini secara eksplisit menegaskan bahwa anggapan kesialan terhadap waktu atau benda adalah bentuk takhayul yang bertentangan dengan tauhid, yakni keyakinan bahwa segala sesuatu, baik itu kebaikan maupun keburukan, terjadi atas kehendak Allah SWT semata. Oleh karena itu, bagi umat Muslim yang berpegang teguh pada ajaran murni, Safar adalah bulan biasa di mana ibadah dan aktivitas kehidupan berjalan seperti sediakala, tanpa perlu ketakutan atau kekhawatiran khusus.
Kontras dengan pandangan Islam murni, persepsi tradisional Jawa terhadap Safar cenderung diwarnai oleh nuansa kewaspadaan, bahkan ketakutan. Safar, dalam primbon dan kepercayaan lokal, sering dianggap sebagai bulan wabal atau balak, yang berarti bulan di mana banyak malapetaka, penyakit, atau kesialan diduga turun ke bumi. Anggapan ini konon berasal dari kepercayaan animisme dan dinamisme kuno yang mengaitkan fenomena alam dan kejadian buruk dengan kekuatan gaib atau roh jahat. Sebelum masuknya Islam, masyarakat Jawa telah memiliki sistem kepercayaan yang kaya akan takhayul dan pantangan terkait waktu-waktu tertentu. Ketika Islam datang, keyakinan-keyakinan ini tidak serta merta hilang, melainkan mengalami proses adaptasi dan akulturasi. Beberapa mitos yang populer menyebutkan bahwa pada bulan Safar, terutama pada hari Rabu terakhir (Rebo Wekasan), Allah SWT menurunkan ratusan ribu bala atau musibah ke dunia. Keyakinan inilah yang menjadi dasar bagi berbagai ritual dan pantangan yang dilakukan masyarakat Jawa.
Mitos dan Realitas: Mengurai Anggapan Kesialan Safar
Anggapan kesialan Safar di Jawa melahirkan serangkaian mitos dan pantangan yang masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat hingga kini. Salah satu mitos paling umum adalah larangan untuk mengadakan hajatan besar seperti pernikahan, sunatan, atau pindah rumah pada bulan Safar. Kepercayaan yang melatarinya adalah bahwa memulai sesuatu yang penting pada bulan ini akan membawa ketidakberuntungan, perpecahan, atau bahkan kegagalan. Konon, energi negatif yang diyakini berlimpah di bulan Safar dapat mengganggu kelancaran dan keberkahan acara tersebut. Selain itu, beberapa tradisi juga menyarankan untuk menghindari perjalanan jauh, terutama bagi anak-anak, atau bahkan membatasi aktivitas di luar rumah, karena diyakini dapat meningkatkan risiko kecelakaan atau kesialan.
Namun, ketika mitos-mitos ini dihadapkan pada realitas ajaran Islam, terlihat jelas adanya perbedaan mendasar. Islam menolak anggapan kesialan yang melekat pada waktu, tempat, atau benda tertentu. Konsep kesialan atau keberuntungan dalam Islam sepenuhnya ada di tangan Allah SWT. Segala musibah yang menimpa manusia adalah bagian dari takdir dan kehendak-Nya, bisa jadi sebagai ujian, peringatan, atau bahkan penghapus dosa. Islam mengajarkan bahwa manusia harus selalu bertawakal (berserah diri) kepada Allah dan mengambil pelajaran dari setiap kejadian. Oleh karena itu, mempercayai bahwa bulan Safar adalah bulan yang sial dapat jatuh ke dalam kategori syirik kecil (menyekutukan Allah dalam hal keyakinan) karena mengaitkan kekuatan selain Allah dalam menentukan nasib. Realitasnya, peristiwa baik atau buruk bisa terjadi kapan saja, di bulan Safar maupun di bulan lainnya. Fokus seharusnya adalah pada ketaatan kepada Allah, peningkatan ibadah, dan perbuatan baik, bukan pada penanggalan. Dengan demikian, upaya mengurai mitos ini menjadi penting untuk meluruskan pemahaman dan mengembalikan fokus pada esensi ajaran agama.
Ritual Tolak Balak: Upaya Menghadapi Balak Safar dalam Tradisi Jawa
Sebagai respons terhadap persepsi tentang “bulan bala,” masyarakat Jawa secara turun-temurun mengembangkan berbagai ritual yang dikenal sebagai tolak balak. Ritual-ritual ini merupakan manifestasi dari upaya manusia untuk memohon perlindungan dari Tuhan dan menolak segala bentuk musibah atau kesialan yang diyakini datang selama bulan Safar. Konsep tolak balak sendiri, meskipun sering dikaitkan dengan kepercayaan lokal, dapat diinterpretasikan secara luas sebagai ikhtiar spiritual untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan memohon keselamatan.
Ragam ritual tolak balak yang dilakukan masyarakat Jawa sangat bervariasi, tergantung pada daerah dan komunitasnya, namun semuanya memiliki tujuan yang sama: menyingkirkan atau menetralkan energi negatif. Beberapa ritual umum meliputi: pelaksanaan slametan atau kenduri kecil di rumah-rumah, dengan doa-doa bersama dan berbagi makanan sebagai simbol kebersamaan dan memohon berkah; sedekah laut atau sedekah bumi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir atau agraris, sebagai wujud syukur dan permohonan keselamatan dari bencana alam; hingga pembacaan doa-doa khusus, baik yang diambil dari ajaran Islam maupun mantra lokal, yang diyakini memiliki kekuatan penolak bala. Selain itu, ada pula praktik-praktik seperti membersihkan rumah secara menyeluruh, melakukan ziarah ke makam leluhur atau orang saleh, hingga mandi di sumber air tertentu yang diyakini memiliki kekuatan spiritual untuk membersihkan diri dari hal-hal buruk.
Tradisi Rebo Wekasan: Puncak Ritual Safar
Di antara berbagai ritual tolak balak yang dilaksanakan pada bulan Safar, tradisi Rebo Wekasan (Rabu terakhir bulan Safar) menempati posisi sentral dan dianggap sebagai puncak dari serangkaian upaya menolak bala. Keyakinan tentang Rebo Wekasan ini berakar pada cerita yang menyatakan bahwa pada hari itu Allah SWT menurunkan 320.000 bala atau malapetaka ke dunia. Meskipun klaim ini tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam yang sahih, ia telah tertanam kuat dalam memori kolektif masyarakat Jawa, mendorong mereka untuk melakukan upaya khusus pada hari tersebut.
Ritual Rebo Wekasan sangat beragam dan bervariasi antar daerah, namun beberapa praktik umum meliputi:
1. Salat Rebo Wekasan: Beberapa komunitas melaksanakan salat sunah khusus Rebo Wekasan, biasanya empat rakaat dengan niat dan bacaan tertentu yang dimaksudkan untuk memohon perlindungan dari bala. Penting untuk dicatat bahwa para ulama Islam umumnya sepakat bahwa salat ini tidak memiliki dasar syariat dan tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Meskipun demikian, bagi sebagian masyarakat, salat ini tetap dilaksanakan sebagai wujud ikhtiar spiritual.
2. Mandi Tolak Balak (Padusan/Jamasan): Di beberapa daerah, masyarakat beramai-ramai mandi di sumber mata air keramat, sungai, atau laut pada Rebo Wekasan. Ritual ini diyakini dapat membersihkan diri dari kotoran batin dan menolak bala.
3. Membuat Jimat Rajah Kalacakra: Tradisi lain yang terkait dengan Rebo Wekasan adalah pembuatan jimat atau rajah tertentu yang diyakini dapat menangkal bala. Salah satu yang populer adalah Rajah Kalacakra, sebuah diagram mistik yang digambar pada kertas atau kain, yang kemudian disimpan atau diletakkan di tempat-tempat tertentu.
4. Bubur Safar: Masyarakat juga sering membuat bubur Safar, yaitu bubur merah putih atau bubur beras biasa yang dibagikan kepada tetangga atau kerabat. Pembagian bubur ini merupakan simbol sedekah dan kebersamaan, dengan harapan dapat menolak bala dan membawa keberkahan.
Ritual Rebo Wekasan bukan hanya tentang penolakan bala secara fisik atau spiritual, melainkan juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Kegiatan-kegiatan ini seringkali menjadi momen untuk mempererat silaturahmi, berbagi, dan memperkuat rasa kebersamaan dalam komunitas. Di balik ketakutan akan bala, tersimpan nilai-nilai luhur gotong royong dan kepedulian sosial.
Sinkretisme Agama dan Budaya dalam Perayaan Safar
Perayaan bulan Safar di Jawa adalah cerminan paling nyata dari sinkretisme yang menjadi ciri khas Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Sinkretisme merujuk pada perpaduan atau peleburan dua atau lebih sistem kepercayaan atau tradisi yang berbeda, sehingga menghasilkan bentuk baru yang unik. Dalam konteks Safar, ajaran Islam yang monoteistis dan rasional bertemu dengan kepercayaan lokal yang kaya akan mitos dan ritual, menciptakan praktik yang harmonis namun kompleks.
Pertemuan antara Islam dan budaya Jawa dalam Safar dapat dilihat dari berbagai aspek. Misalnya, doa-doa yang diucapkan dalam ritual tolak balak seringkali merupakan perpaduan antara lafal Arab yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi, dengan kalimat-kalimat berbahasa Jawa atau mantra lokal yang sudah ada sebelumnya. Lafal-lafal seperti “Yaa Allah, jauhkanlah kami dari segala bala dan musibah” digabungkan dengan ungkapan permohonan keselamatan yang lebih kental nuansa lokalnya. Ini menunjukkan bagaimana masyarakat Jawa berusaha mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam kerangka kepercayaan yang sudah mereka miliki, alih-alih menolaknya secara penuh. Hasilnya adalah sebuah ekspresi keagamaan yang akomodatif, di mana esensi ajaran Islam (memohon perlindungan kepada Allah) tetap terjaga, namun disampaikan melalui medium dan tradisi yang akrab bagi masyarakat lokal.
Spiritualitas Jawa vs. Syariat Islam: Harmonisasi dalam Keyakinan
Dalam konteks Safar, interaksi antara spiritualitas Jawa dan syariat Islam adalah contoh klasik bagaimana masyarakat mencari harmoni di antara dua sistem nilai yang terkadang tampak berbeda. Spiritualitas Jawa, dengan penekanan pada roso (rasa/intuisi batin), ngudi kawruh kasampurnan (mencari kesempurnaan ilmu), dan manunggaling kawula Gusti (penyatuan hamba dengan Tuhan), cenderung lebih fleksibel dalam interpretasi dan praktik keagamaan. Tujuannya adalah mencapai ketenangan batin, keseimbangan hidup, dan hubungan yang mendalam dengan Ilahi melalui berbagai jalan.
Syariat Islam, di sisi lain, menawarkan pedoman yang lebih terstruktur dan spesifik mengenai ibadah (salat, puasa, zakat, haji) dan muamalah (interaksi sosial). Dalam konteks Safar, syariat menekankan pentingnya tawakal, menghindari takhayul, dan memperbanyak amal saleh sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon perlindungan-Nya. Perbedaan ini, pada pandangan pertama, mungkin tampak sebagai kontradiksi. Namun, masyarakat Jawa menemukan cara untuk menyelaraskan keduanya.
Harmonisasi ini terwujud dalam beberapa cara:
1. Niat yang Melandasi: Banyak praktik tolak balak yang dilakukan di Jawa, meskipun secara ritual mungkin tidak sepenuhnya sesuai syariat, dilandasi niat yang Islami, yaitu memohon perlindungan kepada Allah, bersedekah, dan mempererat tali silaturahmi. Fokus niat inilah yang sering menjadi jembatan antara tradisi dan syariat.
2. Interpretasi Simbolis: Ritual-ritual yang dilakukan dapat diinterpretasikan secara simbolis. Misalnya, mandi Rebo Wekasan bukan lagi semata-mata diyakini menghilangkan kesialan secara fisik, melainkan sebagai simbol pembersihan diri dari dosa dan niat buruk, mirip dengan makna wudu atau mandi junub dalam Islam. Bubur Safar bukan sekadar jimat, melainkan representasi sedekah dan kebersamaan.
3. Pengaruh Tokoh Agama: Para ulama dan kiai di Jawa memiliki peran krusial dalam menuntun masyarakat. Mereka seringkali tidak serta-merta melarang tradisi secara total, melainkan memberikan bimbingan untuk mengarahkan praktik-praktik tersebut agar lebih sesuai dengan syariat, misalnya dengan menekankan pentingnya doa yang sesuai Al-Qur’an dan Sunnah, serta meluruskan niat agar tidak jatuh pada kemusyrikan.
Dengan demikian, bulan Safar di Jawa menjadi bukti hidup bagaimana spiritualitas yang dalam dan fleksibel dapat berdampingan dengan syariat yang terstruktur, menghasilkan bentuk keberagamaan yang unik dan adaptif. Ini adalah proses dinamis di mana masyarakat mencari keseimbangan antara mempertahankan warisan leluhur dan menguatkan identitas keislaman mereka.
Adaptasi Modern dan Reinterpretasi Makna Safar
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, tradisi-tradisi terkait bulan Safar di Jawa menghadapi tantangan sekaligus peluang untuk beradaptasi dan mereinterpretasi maknanya. Pertanyaan tentang relevansi praktik tolak balak dan kepercayaan akan “bulan bala” di era digital dan ilmiah ini menjadi semakin relevan.
Bagi sebagian generasi muda dan masyarakat urban, praktik-praktik ritual tradisional Safar mungkin tidak lagi memiliki daya tarik yang sama atau bahkan dianggap sebagai takhayul yang tidak rasional. Paparan informasi yang lebih luas, pendidikan modern, dan pemahaman agama yang lebih tekstual seringkali membuat mereka mempertanyakan dasar-dasar kepercayaan yang melingkupi bulan Safar. Akibatnya, frekuensi pelaksanaan ritual tolak balak di beberapa daerah perkotaan atau komunitas yang lebih teredukasi mungkin mengalami penurunan. Namun, bukan berarti tradisi ini sepenuhnya hilang; alih-alih, ia mengalami pergeseran bentuk dan makna.
Di sisi lain, terdapat upaya revitalisasi dan reinterpretasi makna Safar yang dilakukan oleh budayawan, akademisi, dan bahkan tokoh agama. Reinterpretasi ini bertujuan untuk:
1. Memurnikan dari Takhayul: Meluruskan pemahaman masyarakat agar tidak lagi terjebak pada takhayul kesialan, melainkan fokus pada nilai-nilai positif seperti bersedekah, berdoa, dan beramal saleh yang sejalan dengan ajaran Islam.
2. Mempertahankan Nilai Sosial: Mengalihfungsikan ritual sebagai media untuk mempererat silaturahmi, gotong royong, dan kepedulian sosial. Tradisi kenduri dan berbagi makanan, misalnya, tetap relevan sebagai sarana memperkuat ikatan komunitas.
3. Menggali Aspek Spiritual dan Reflektif: Mengajak masyarakat untuk menjadikan bulan Safar sebagai momen refleksi diri, introspeksi, dan peningkatan ibadah. Mengingat bahwa setiap bulan adalah anugerah dari Tuhan, maka setiap waktu harus diisi dengan kebaikan dan syukur.
4. Edukasi dan Literasi Keagamaan: Peran lembaga pendidikan dan tokoh agama menjadi sangat penting dalam memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai Safar dari perspektif Islam yang benar, sembari tetap menghargai kekayaan budaya lokal. Mereka berupaya menjelaskan bahwa berdoa dan memohon perlindungan kepada Allah adalah ibadah yang dianjurkan kapan saja, tanpa harus terikat pada mitos kesialan bulan tertentu.
Dengan demikian, transformasi Safar dari sekadar bulan yang penuh ketakutan menjadi momen kesadaran spiritual dan sosial adalah keniscayaan. Tradisi tidak harus mati, tetapi bisa berevolusi. Masyarakat Jawa menunjukkan kemampuan luar biasa untuk beradaptasi, mempertahankan warisan leluhur, sekaligus mengintegrasikannya dengan pemahaman keagamaan yang lebih kuat dan relevan dengan zaman. Ini adalah bukti bahwa budaya adalah entitas yang hidup, yang terus-menerus berinteraksi, bernegosiasi, dan membentuk makna baru dalam menghadapi perubahan zaman.
Bulan Safar dalam wacana Jawa adalah sebuah prisma multiaspek yang merefleksikan kekayaan dan kompleksitas sinkretisme budaya-agama di Nusantara. Ia adalah panggung di mana keyakinan pra-Islam tentang kesialan berinteraksi dengan ajaran tauhid Islam, melahirkan serangkaian praktik dan interpretasi yang unik. Perbandingan antara perspektif Islam murni yang menolak anggapan kesialan bulan Safar dengan persepsi tradisional Jawa yang mengasosiasikannya dengan balak atau musibah, menunjukkan adanya dinamika adaptasi dan akulturasi yang luar biasa.
Ritual tolak balak, terutama tradisi Rebo Wekasan, menjadi manifestasi kolektif masyarakat Jawa dalam merespons kekhawatiran ini. Meskipun beberapa praktik mungkin diperdebatkan kesesuaiannya dengan syariat Islam, intinya adalah niat dan upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan memohon perlindungan-Nya. Harmonisasi antara spiritualitas Jawa yang fleksibel dengan syariat Islam yang terstruktur telah membentuk sebuah model keberagamaan yang mampu mengakomodasi nilai-nilai lokal tanpa menghilangkan esensi ajaran agama.
Di era modern, wacana Safar terus beradaptasi. Dari ketakutan akan bala, maknanya berevolusi menjadi ajakan untuk refleksi spiritual, memperkuat ikatan sosial, dan memelihara warisan budaya. Bulan Safar, pada akhirnya, bukan sekadar bulan dalam kalender, melainkan sebuah narasi budaya yang tak ternilai. Ia menjadi cerminan kebijaksanaan lokal yang mampu mencari titik temu antara tradisi yang diwariskan dan ajaran agama yang dianut, membuktikan bahwa identitas keagamaan di Jawa adalah sebuah entitas yang hidup, dinamis, dan terus berevolusi dalam harmoni yang khas.//
—